Media dan Masyarakat Mabuk Pornografi

Idy Muzayyad (Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

Aneh kalau ada media massa yang tak memberitakan perihal heboh peredaran video adegan hubungan intim yang disebut-sebut mirip Ariel “Peterpan”- Luna Maya dan Ariel “Peterpan”- Cut Tari.

Media massa di Tanah Air hari-hari ini riuh-ramai mengabarkan berita heboh tersebut. Maklum, objek berita adalah para pesohor, selebritas, figur publik di negeri ini. Namun, sejak kabar tersebut mula-mula menyeruak, terasa sekali pemberitaannya sangat berlebihan. Terutama sekali media massa televisi,khususnya infotainment (berita hiburan). Diakui atau tidak, televisi sangat “berjasa” dalam penyebarluasan kabar keberadaan video tersebut. Jangankan bagi masyarakat di kota-kota besar, seseorang di ujung pelosok negeri ini–yang tak terjangkau jaringan internet–pun akhirnya tahu keberadaan video tersebut. Bukan dari media surat kabar, melainkan dari pesawat televisi yang barangkali hampir semua penduduk negara ini memilikinya.

Jangan salahkan masyarakat jika mereka penasaran lalu berusaha mendapatkan salinan video dewasa tersebut, apa pun caranya. Jangan salahkan masyarakat pula jika mereka seperti tak henti-henti membicarakan perihal film itu. Sebab, media massa, terutama sekali televisi (infotainment), pun nyaris tiada henti menayangkan hasil reportasenya terkait video itu. Infotainment seperti sedang mendapat berita besar, layaknya media kategori news saat heboh kasus skandal Bank Century mengemuka beberapa bulan lalu.Tiap media seperti sedang adu kemampuan merebut perhatian publik.

Caranya, tentu, berusaha sebisa mungkin menampilkan berita paling eksklusif,menarik,dan sensasional. Sebuah stasiun televisi bahkan membuat program khusus, yang secara khusus pula membahas topik hangat Ariel-Luna-Cut Tari.

*** Alhasil,pemberitaan-pemberitaan itu belakangan tak sekadar terasa sangat berlebihan,tetapi juga mulai menabrak nilai-nilai agama, norma, dan rasa kesusilaan yang berkembang di masyarakat serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.Beberapa stasiun televisi tidak membuat kategorisasi pemberitaan sehingga tayangantayangan tentang Ariel-Luna-Cut Tari itu dapat ditonton semua orang dari segala umur. Padahal, dalam Undang-Undang (UU) No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal 36 ayat 1 tegas disebutkan: isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anakanak dan remaja,dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

Tidak hanya itu. Meski pihak berwenang belum membuat keputusan resmi terkait video tersebut, media infotainment sudah sedemikian jauh melangkah. “Liputan investigasi” mereka seakan jauh melampaui hasil yang telah didapat pihak berwenang dan makin terasa ada upaya media massa untuk mencoba meluaskan obyek pemberitaan ke pihak yang tidak relevan alias tidak ada/jauh kaitannya dengan persoalan.Misalnya, mereka sengaja melibatkan atau mengeksploitasi pernyataan keluarga/ kerabat para selebritas yang diduga tampil dalam video dewasa itu. Hal yang terjadi kemudian,bukannya mengarahkan pemberitaan pada upaya pengusutan terkait siapa-siapa yang dianggap melanggar hukum, tetapi lebih berupaya memperluas cakupan pemberitaan pada hal-hal yang tidak terkait.

Jika kondisi ini terus berlangsung, dapat dipastikan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam video tersebut, yakni pelaku/pemeran ataupun penyebar, tak akan pernah terungkap. Maka, fungsi lembaga penyiaran seperti disebutkan pula dalam UU Penyiaran “sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial” tidak akan pernah terwujud. Lalu, apabila situasinya sudah demikian, pemberitaan hanya akan berisi isu,gosip,kabar burung yang sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya.Padahal, pemberitaan dalam bentuk apa pun harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundangundangan yang berlaku (UU Penyiaran Pasal 42).

Semestinya, dalam bekerja, para jurnalis–termasuk jurnalis infotainment–patuh pada UU Pers No 40 Tahun 1999 Pasal 5 (1): “Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.” Lalu, seperti ditegaskan pada Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Pasal 4: “Wartawan Indonesia tidak memuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.”Penafsiran cabul di sini adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu berahi. Lalu, menyaksikan sejumlah tayangan infotainment,tidak jarang ditemukan penayangan foto atau cuplikan adegan dari video dewasa itu.

Ini jelas bertentangan dengan UU Penyiaran seperti disebutkan pada Pasal 36 (5) huruf b, yakni isi siaran dilarang “menonjolkan unsur cabul”. Sebab, selain tidak memberikan pendidikan yang baik pada masyarakat, tayangantayangan semacam itu berpotensi memancing rasa ingin tahu khalayak untuk kemudian memburu video itu. Hasilnya,tampak dalam sepekan terakhir, masyarakat seperti sedang mabuk pornografi; nyaris setiap hari media televisi menjejali masyarakat dengan tayangan-tayangan seputar video adegan dewasa itu. Razia telepon seluler pun digelar di sekolahsekolah. Memang, tak ada media massa yang menampilkan sebagian atau keseluruhan video itu secara vulgar.Namun, pemberitaan bertubi-tubi seolah telah membuat masyarakat menjadi mabuk kepayang.

*** Pemberitaan berlebihan yang dilakukan media massa,utamanya televisi, dapat dipahami sebagai upaya meningkatkan peringkat yang tujuannya menarik pengiklan sebanyak-banyaknya. Namun, hal tersebut seharusnya tidak mengabaikan nilai, norma, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diketahui bersama bahwa siaran televisi merupakan siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak, dan bebas sehingga memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak.Maka,penyelenggara penyiaran juga turut ber-tanggung jawab menjaga nilai moral, tata susila,dan budaya. Di pihak lain, masyarakat sebagai konsumen media tidak dapat menerima begitu saja keadaan.

Khalayak tidak bisa hanya diam dan menikmati apa pun tayangan yang disuguhkan penyelenggara penyiaran. Masyarakat memiliki peran yang tak kalah penting dalam mendorong penyelenggara penyiaran untuk membuat tayangan yang berkualitas dan mendidik. Konstitusi memberikan ruang seluas- luasnya bagi setiap warga negara Indonesia untuk berperan aktif dalam hal ini.Dalam UU Penyiaran Pasal 52 (3) disebutkan: ”Masyarakat… dapatmengajukankeberatan terhadap program dan/ atau isi siaran yang merugikan.

” Maknanya, masyarakat memiliki hak dan kewajiban penuh untuk mengontrol dan mengawasi penyelenggaraan penyiaran. Bagus atau tidak sebuah tayangan bukan semata tanggung jawab penyelenggara media, tetapi juga masyarakat.(*)

Sumber: seputar-indonesia.com

No Response to "Media dan Masyarakat Mabuk Pornografi"

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
 
powered by Blogger | Downloaded from free website templates