Indonesia, Tenunan yang Robek

Yudi Latif (Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan)

Entah mengapa saya mulai sangsi dengan janji demokrasi di negeri ini. Dari penjelajahan setiap pekan mengarungi cakrawala Nusantara, dari jarak dekat dengan bau keringat dan kaki kebangsaan, dengan mudah kupergoki retakan-retakan dari arsitektur kenegaraan kita. Dua belas tahun setelah reformasi demokratis digulirkan, Indonesia adalah tenunan yang robek, karena simpul yang rapuh.

Dari Danau Sentani di Papua hingga Danau Toba di Sumatera Utara, kebeningan air kearifan memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kebudayaan. Tentu merisaukan, karena Indonesia adalah pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai simpul pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara itu tidak bisa diikat menjadi sapu lidi yang kuat, tetapi sekadar serpihan lidi yang berserak, mudah patah.

Indonesia lebih merupakan state-nation ketimbang nation-state. Dasar mengada dari bangsa ini tidak lain karena eksistensi negara. Bangsa Indonesia dipersatukan bukan karena kesamaan budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya negara persatuan, yang menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala paham golongan dan perseorangan. Jika negara merupakan faktor pemersatu bangsa, negara pula yang menjadi faktor pemecah-belah bangsa. Dengan demikian, lebih dari negara mana pun di muka bumi ini, politik kenegaraan bagi Indonesia sangatlah vital untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa.

Arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat-guna sanggup mempertautkan kemajemukan Indonesia sebagai nations-in-nation adalah desain negara kekeluargaan. Secara bertepatan, pendiri bangsa, dengan keragaman garis ideologisnya, memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan. Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, tetapi adalah perpaduan dari banyak unsur: paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi (khususnya Jawa), konsepsi kekeluargaan Hakkoo Itjiu Jepang, perspektif Islam tentang ketidakterpisahan individu dan masyarakat (fardu ain dan fardu kifayah), perspektif sosialis kasih Kristiani, populisme radikal ala Soekarno maupun demokrasi sosial ala Hatta, dan terlebih lagi paham integralisme konservatif ala Soepomo.

Dasar idealisasi paham kekeluargaan itu pula yang membuat Soekarno tiba pada kerucut pendapat, sekiranya Pancasila itu diperas menjadi satu sila, hal itu bernama ”gotong royong”. Maknanya, keseluruhan sila-sila Pancasila itu dijiwai semangat kekeluargaan: ketuhanan secara kekeluargaan (yang berkebudayaan lapang dan toleran); kemanusiaan universal secara kekeluargaan (yang adil dan beradab); persatuan kebangsaan secara kekeluargaan (Bhinneka Tunggal Ika); demokrasi-kerakyatan secara kekeluargaan (permusyawaratan dengan hikmah kebijaksanaan); serta keadilan ekonomi secara kekeluargaan (usaha bersama dan miliki bersama).

Dengan demikian, semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar (archetype) dan karakter ideal keindonesiaan. Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Soekarno, kekeluargaan adalah ”meja statis” dan ”leitstar dinamis”, yang mempersatukan dan memandukan.

Oleh karena kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan, kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat biduk perahu kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah-tujuan.

Jika demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan demokrasi itu cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan. Peraturan daerah berbasis eksklusivisme keagamaan bersitumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan; lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab; tribalisme, nepotisme, dan pemujaan putra daerah menguat dalam pemilu kepala daerah melemahkan persatuan kebangsaan; anggota parlemen bergotong royong menjarah keuangan rakyat, memperjuangan ”dana aspirasi” seraya mengabaikan aspirasi rakyat, melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan; ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial dan tindak korupsi melebar menjegal keadilan sosial.

Demokrasi yang dijalankan justru memutar jarum jam ke belakang, membawa kembali rakyat pada periode prapolitik, saat terkungkung dalam hukum besi sejarah survival of the fittest dan idol of the tribe. Ada jarak yang lebar antara voices dan choices; antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat.

Distorsi ini terjadi karena orang-orang bekerja dari politik, bukan untuk politik. Di sinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha hitam dan politisi hitam dalam proses institutional crafting dan legal drafting. Suatu penyanderaan demokrasi yang mengarah pada legalisasi kejahatan. Tiba-tiba saja nubuat Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca menjadi kenyataan, ”Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.”

Mengarungi Nusantara dari ufuk ke ufuk menerbitkan fajar keinsafan akan kekuatan ragawi keindonesiaan yang terancam lumpuh oleh kanker otak kebangsaan. Merenda kembali tenunan robek keindonesiaan memerlukan penyehatan pada pusat saraf politik kenegaraan, dengan menginfuskan kembali semangat kekeluargaan. ***

Sumber: Kompas

No Response to "Indonesia, Tenunan yang Robek"

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
 
powered by Blogger | Downloaded from free website templates