Inkonsistensi Penegakan Hukum

Oleh Bambang Soesatyo
(anggota Komisi III DPR/Tim Pengawas Kasus Bank Century)

Konsistensi kita mengaktualisasi era penegakan hukum kembali menghadapi godaan. Tak kuat menghadapi tekanan dan tergiur iming-iming, penegak hukum tidak hanya ambivalen, tetapi juga selingkuh. Kasus Bibit-Chandra, skandal Bank Century hingga pemberantasan makelar kasus (markus) jelas-jelas sudah membelokkan arah penegakan hukum. Ekstremnya, kita sedang bergerak mundur. Ketiga kasus itu setidaknya telah membuat institusi penegak hukum bingung alias kehilangan fokus. Inkonsistensi penegak hukum kita boleh jadi disebabkan adanya tekanan plus iming-iming kekuasaan. Dua faktor itu membuat penegak hukum gelap mata, tergoda dan nekad selingkuh.

Akibatnya, kesan yang muncul menjadi kontradiktif. Setelah 4-5 tahun kita tampak begitu heroik mewujudkan penegakan hukum, wajah institusi penegak hukum kita kini terkesam lamban. Lalu, kalau dihadapkan pada ambisi mewujudkan negara hukum, kita ibarat sosok dengan nafsu besar tenaga kurang.

Kepercayaan dan keyakinan masyarakat akan konsistensi penegakan hukum mulai menurun saat kita dihadapkan pada episode kasus "cicak vs buaya" tempo hari. Dalam episode itu, masyarakat diberi gambaran kalau unsur pimpinan KPK akan dijerat kasus penyuapan atau pemerasan. Beruntung, dimunculkan rekaman pembicaraan para pihak tentang "kemungkinan" rekayasa kasus ini. Banyak orang ternganga, setengah tak percaya, atas keterlibatan para pejabat penegakan hukum dalam rekaman pembicaraan itu.

Tim Delapan yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian merekomendasikan agar polisi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) jika perkara ini masih di tangan polisi. Sedangkan kejaksaan diminta menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) jika perkaranya sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Atau, jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan berdasarkan asas oportunitas.

Jaksa Agung dapat mendeponir perkara ini. Rekomendasi ini tidak dilaksanakan, sehingga kasus Bibit-Chandra berpotensi sampai ke pengadilan, setelah Anggodo memenangi gugatan praperadilannya di Pengadilan Tinggi Jakarta.

Sementara itu, para ahli hukum masih memperdebatkan perkembangan terbaru kasus Bibit-Chandra. Rapat koordinasi antara Tim Pengawas Century dan pimpinan KPK, Kapolri Bambang Hendarso Danuri, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji di DPR, baru-baru ini, seperti melahirkan kontroversi baru. Wakil Ketua KPK M Jasin mengaku belum menemukan indikasi pelanggaran tindak pidana korupsi dalam kasus kucuran dana talangan ke Bank Century. KPK juga belum menemukan tindak pidana korupsi dalam penelusuran penggunaan dana fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). Lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji pun mengaku kasus Century belum dapat disebut merugikan keuangan negara.

Mendengar jawaban seperti itu, saya langsung menantang KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung untuk melakukan gelar perkara kasus bailout Bank Century. Saya harus menunjukkan laporan hasil investigasi Fraksi Partai Golkar. Saya juga membacakan sejumlah temuan hasil penyelidikan Pansus mengenai nasabah yang kami yakini fiktif.

Dalam perang terhadap markus, masyarakat juga bingung. Sebab, orang yang melaporkan praktik markus tidak diapresiasi sebagaimana mestinya. Alih-Alih dilindungi, si pelapor malah diseret ke ruang tahanan dengan tuduhan terlibat dalam kasus lain.

Mungkin, mengacu pada kecenderungan penanganan kasus-kasus itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai bahwa 12 tahun pascareformasi ternyata tak menghasilkan perkembangan situasi hukum yang signifikan. Saat membuka Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta, baru-baru ini, Mahfud bahkan menilai reformasi justru membuat hukum kian karut-marut, korupsi makin merajalela, terutama karena aparat birokrasi dan penegak hukum masih bermasalah.

Kasus Bibit-Chandra, terungkapnya fakta-fakta tentang markus hingga skandal Bank Cengury, tampaknya menjadi alasan ideal bagi perselingkuhan penegak hukum dengan kekuasaan. Ketiga kasus itu telah dijadikan alat tawar untuk saling menekan dan saling menjanjikan iming-iming. Akibatnya, langkah dan gerak penegak hukum kita ambivalen. Terus memburu dan memproses hukum beberapa kasus baru, tetapi pada saat bersamaan berupaya memutarbalikkan fakta atau mengabaikan kasus-kasus hukum yang semestinya diprioritaskan demi alasan rasa keadilan rakyat.

Kemenangan Anggodo atas gugatan praperadilannya di Pengadilan Tinggi Jakarta bisa kita maknai sebagai gertakan terhadap Bibit-Chandra. Bahwa kalau KPK konsisten mengatakan ada tindak pidana korupsi dalam bailout Bank Century, proses hukum dugaan penyuapan atau pemerasan yang disangkakan kepada Bibit-Chandra akan berlanjut sampai di pengadilan.

Bibit-Chandra mungkin saja bersih. Tetapi, adakah jaminan bahwa kasus mereka di pengadilan tidak diintervensi markus untuk menyatakan keduanya terbukti bersalah? Walau "bersih", keduanya pun pasti tidak mau berkorban atau dipaksa tidur bertahun-tahun di hotel prodeo.

Sesi awal pengungkapan fakta tentang markus ternyata begitu dahsyat. Kita semua terkejut karena markus dipraktikan begitu kolosal, melibatkan birokrasi negara dan penegak hukum. Oknum birokrasi melakukan korupsi dan oknum penegak hukum akan mengamankannya manakala kasus korupsi itu terungkap. Itulah yang terjadi pada kasus Gayus Tambunan. Gayus tidak sendiri. Atasannya di Ditjen Pajak, polisi, jaksa dan hakim diduga terlibat.

Fakta-fakta awal tentang markus pun langsung dijadikan alat tawar oleh pihak-pihak yang saling berkepentingan. Maka, instruksi Presiden untuk memerangi markus seperti kehilangan acuan, dan hanya berkutat di sekitar kasus Gayus Tambunan.

Sungguh cara penegak hukum menangani kasus Bibit-Chandra, masalah markus, dan skandal Bank Century benar-benar mengecewakan masyarakat. Kepercayaan rakyat dan masyarakat internasional terhadap Indonesia akan menurun ke titik nol jika ketidakpastian hukum seperti sekarang dibiarkan berlarut-larut. Sekarang, masyarakat menilai pemerintahan Presiden SBY sudah tidak konsisten lagi mengaktualisasikan era penegakan hukum.

Dalam kasus Bank Century, kalau institusi penegak hukum kita berperilaku seperti sekarang, tatanan kenegaraan bisa berantakan, rusak tidak keruan. Bagaimana tidak? DPR sampai harus menyelenggarakan sidang paripurna untuk membuktikan bailout Bank Century sebuah skandal. DPR juga memutuskan dan memberi rekomendasi agar dilakukan proses hukum terhadap pejabat tinggi negara yang terlibat. Kalau KPK mengaku tidak menemukan tindak pidana korupsi, sama artinya dengan kerja Pansus DPR dianggap tidak ada. Saya bingung, bagaimana penegak hukum kita memersepsikan eksistensi DPR?

Untuk memulihkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat, sangat penting bagi penegak hukum meluruskan kembali proses hukum tiga kasus itu. ***

Sumber: Suara Karya

Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir

Meutia Farida Hatta Swasono (Mantan Ketua Jurusan Antropologi FISIP-UI, saat ini menjabat Ketua Program D-III Pariwisata FISIP-UI. Inti Pemikiran yang tertuang pada tulisan ini pernah diajukan pada Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi , tgl 20– 22 Oktober 2003)


Pendahuluan

Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.

Namun kita juga telah melihat bahwa, khususnya dalam lima tahun terakhir, telah terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan reformasi (tanpa platform yang jelas) yang menimbulkan berbagai ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi berantakan dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari sinilah berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika, tentu pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di kala hal ini berkepanjangan dan tidak jelas kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para pengamat hanya bisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah “bangsa yang sedang sakit”, suatu kesimpulan yang tidak pula menawarkan solusi.

Timbul pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh bangsa lain? Mengapa pula ada sejumlah orang Indonesia yang tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, “Saya malu menjadi orang Indonesia” dan bukannya secara heroik menantang dan mengatakan, “Saya siap untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ini”? Mengapa pula wakil-wakil rakyat dan para pemimpin malahan saling tuding sehingga menjadi bahan olok-olok orang banyak? Mengapa pula banyak orang, termasuk kaum intelektual, kemudian menganggap Pancasila harus “disingkirkan” sebagai dasar negara? Kaum intelektual yang sama di masa lalu adalah penatar gigih, bahkan “manggala” dalam pelaksanaan Penataran P-4. Pancasila adalah “asas bersama” bagi bangsa ini (bukan “asas tunggal”). Di samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat terhadap, bahkan menolak, perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.

Perjalanan panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan sebagai “de hoogste politieke beslissing” dan diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara)1.



Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia: Identitas Nasional dan Kesadaran Nasional

Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai “puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia”. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.

Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: “Siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?”

Jawaban terhadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam berbagai wacana mengenai pembangunan kebudayaan nasional dan pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi kebudayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam kongres-kongres kebudayaan yang lalu.

Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Makalah ini akan membatasi diri pada dua hal pokok yang menurut hemat penulis perlu menjadi titik-tolak utama dalam “membentuk” kebudayaan nasional, yaitu: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional. Dalam kaitan ini, “Bhineka Tunggal Ika” adalah suatu manifesto kultural (pernyataan das Sollen) dan sekaligus merupakan suatu titik-tolak strategi budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.

Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme. Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing.

Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.




Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural

Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.

Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.2

Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi, keanekaragaman.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.


Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir

Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistik ini adalah rakyat yang juga warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan dan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita juga harus membuka diri untuk memahami Pancasila, sekaligus bersedia membedakan antara substansi ideal dan kemuliaannya sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya sengaja dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila dikambinghitamkan dan dibenci sebagai penyebab timbulnya kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar pernyataan kejenuhan, kebencian atau “alergi” terhadap perkataan “Pancasila”. Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat lahirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat: “Apa dasar negara kita nanti?”.

Kelima butir Pancasila itu merupakan refleksi buah pikiran yang telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara serius dan mendalam oleh para pendiri negara kita menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam wadah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI) untuk menjadi pedoman berperilaku nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar negara itu maka bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak “ela-elo” (Sastro Gending di zaman Sultan Agung yang menggambarkan porak-porandanya bangsa ini, seakan kehilangan pegangan, jati diri, harga diri dan percaya diri)3.

Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita baru-baru ini, di mana Pancasila tersurat di dalamnya, dinilai tidak sesuai dengan tujuannya melainkan justru merubah makna yang terkandung di dalamnya4. Oleh karena itu, pada saat generasi penerus dan cendekiawan kita masa kini belum mampu menyusun suatu pedoman acuan lain yang dianggap dapat mengungguli Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjaga persatuan bangsa, mensejahterakan rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan tanah air kita, maka pada saat ini, niat untuk menghapus Pancasila itulah yang harus ditanggalkan dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap mindset perlu diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk menghindarkan bangsa kita dari ketidakadilan yang menyebabkan kekacauan, ketidakrukunan, makin luasnya disintegrasi sosial, serta koyaknya keutuhan negara.

Bukanlah suatu hal yang aneh atau tabu, atau dinilai ketinggalan zaman bila kita menoleh kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan oleh para pendiri negara kita. Hakekat reformasi adalah “pembaharuan” dan juga “back-to-basics”, dalam arti meluruskan yang keliru dan keluar jalur. Kemajuan peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran makna sejarah sebagai acuan untuk membangun masa depan.

Nilai-nilai dalam UUD 1945 menanamkan pentingnya kehidupan yang cerdas, yang diutarakan dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang bermartabat, tidak rendah diri, dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Terdistorsinya nilai-nilai ini terlihat dari contoh yang sedang kita saksikan sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajarkannya pula), yaitu adanya “pembodohan sosial” di hadapan kita, antara lain dengan diajukannya pandangan bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam globalisasi, dalam dunia yang borderless. Paham borderless world ini tentu banyak ditentang oleh negara-negara yang lemah, namun didukung oleh negara-negara kuat yang memelihara hegemonisme dan predatorisme.5 Pelaku dan korban “pembodohan sosial” ini tak terkecuali pula sebagian dari kaum intelektual kita, yang sama-sama termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan sengaja ingin menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi6.


Strategi Budaya: Mutualisme dan Kerjasama Sinergis

Upaya untuk “membentuk” suatu mindset kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared intrerest dan common property)7 perlu dikembangkan, baik yang berada di tingkat keluarga, ketetanggaan8, masyarakat luas hingga ke tingkat negara. Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama sinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945 itu harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-program pembangunan nasional secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Perencanaan pembangunan nasional harus pula memiliki metode dan mekanisme untuk mewujudkan program-program atau pun proyek-proyek yang memfasilitasi terbentuknya prinsip-prinsip mutualitas dan kebersamaan sinergis9. Beberapa contoh akan dikemukakan di bawah ini.

Di bidang pendidikan nasional, misalnya, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam permusuhan (dimulai dari sistem ranking, pembedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti “sekolah unggulan” dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan nasional harus menum­buhkan pola kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi "proyek bersama" siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan kegiatan seni-budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai “siswa sekolah Indonesia”, di manapun tempat bersekolahnya.10

Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival) ditentukan oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas, pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa. Sosialisasi dari platform rnasional akan memformulasi mindset masyarakat. Adalah suatu “kecelakaan” besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan ke luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.

Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal yang juga penting sebagai suatu proses alamiah yang telah ikut memberikan isi kepada kesadaran nasional dan identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh esensi persaudaraan (“brotherhood”) dan “keluarga luas” (extended family), dengan makin meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah masyarakat kita, yang menimbulkan perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap memelihara identitasnya11. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Young Yun Kim yang menggambarkan komunikasi yang mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan sinergi (togetherness) dalam tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997)12. Dalam pemahaman prinsip kebersamaan dan kerjasama sinergi ini pula kita dapat lebih mengamati adanya primordialisme yang memperoleh makna baru di antara masyarakat kita13.

Dengan orientasi kebersamaan dan kerjasama pula, di bidang perhubungan, perlu digerakkan usaha seluruh maskapai penerbangan nasional untuk maju bersama demi kemajuan seluruh bangsa. Penggunaan berbagai jenis pesawat yang mampu menerobos isolasi, menjangkau pelosok tanah air yang terpencil serta mendekatkan “jarak sosial-politik” dan “jarak psiko-sosiokultural” di dalam jarak mileage fisik. Demikian pula dengan pembangunan industri pariwisata di berbagai pelosok tanah air.14
Di bidang ekonomi, mutualisme memang dapat lebih nyata dan praktis dilaksanakan. Baru-baru ini kita telah melihat proses mulai tumbuhnya kerjasama antar provinsi yang jauh dari pola pikir persaingan, melainkan dilandasi oleh pola pikir kebersamaan dan mutualitas, sebagaimana yang ditunjukkan oleh gagasan untuk membentuk Gerakan Pembangunan Mina Bahari15. Penulis menyaksikan semangat menggebu-gebu dari para camat dan bupati yang mulai merancang program kerja antar daerah yang termasuk dalam jangkauan gerakan pembangunan di Teluk Tomini itu. Percikan semangat kebersamaan itu bahkan juga menjangkau komuniti nelayan Bajo yang masih hidup dalam kondisi keterbatasan sosial-ekonomi di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, yang berharap memperoleh partisipasi pula dalam gerakan pembangunan ini melalui pemanfaatan potensi budaya mereka sebagai nelayan. Dengan demikian, manfaatnya tidak saja berupa keuntungan ekonomi yang bersifat regional melainkan juga nasional. Selain itu proyek ini juga dapat memberikan kebanggaan daerah dan kebanggaan nasional, perluasan tenaga kerja, sekaligus meningkatkan harkat ekonomi dan sosial rakyat di daerah-daerah, termasuk rakyat kecil, yang bersemangat untuk membangun daerah mereka agar menjadi tuan di negeri sendiri16.

Semangat ini telah mulai membentukkan suatu kohesi sosial, yang makin luas jangkauan teritorialnya, dan akan makin luas pula dampaknya terhadap penjalinan persatuan nasional. Di samping itu perlu pula diberikannya peluang yang mendorong kemampuan entrepreneurial17 dalam masyarakat.
Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat dan merupakan kasus-kasus alienasi dan marginalisasi, pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945: “… melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Penataan pola pikir perlu dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak dilandasi oleh keberpihakan dan perlindungan kepada rakyat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai dalam Preambul UUD 1945 itu.

Berbagai contoh di atas kiranya juga menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika pembangunan daerah tidak dilan­dasi oleh orientasi pola pikir kerjasama. Kebersamaan dan kerja­sama antar Pemda-Pemda di tingkat kabupaten, antar Kabupaten dan Provinsi, juga harus beriorientasi pada pola pikir membangun seluruh bangsa Indonesia, bukan sekedar membangun rakyat lokal. Sulit diperkirakan tentang akan terca­painya keberhasilan otonomi daerah yang masih dilandasi oleh orientasi pola pikir persaingan (mengabaikan kerjasama) dan orientasi penguasaan (eksklusivisme sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara provinsi, hanya akan mempercepat jatuhnya bangsa lewat otonomi daerah yang tidak ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi kesatuan bangsa.


Penutup

Sebagai penutup dapat diulangi di sini bahwa dalam penataan mindset untuk “membentuk” kebudayaan nasional Indonesia, makalah ini mengambil titik-tolak utama sebagai awal strategis: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional.

Pertama, rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya.

Kedua, tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan “kebhinekaan” menjadi “ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.

Ketiga, diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa.

Keempat, membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, “Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?” yang tentu jawabannya adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia”.

Kelima, yang kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera ditegakkannya upaya “membentuk” secara tegas identitas nasional dan kesadaran nasional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran

Daftar Pustaka


Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso.

Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan Memang Multikultural: Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.

Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.

Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press

Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim (1997). Communicating with Strangers. Boston: McGraw Hill.

Kompas (2003). “Presiden Canangkan Gerbang Mina Bahari”, hlm. 11 kol. 1-3, 12 Oktober.

Lustick, Ian S. (2002). “Hegemony and the Riddle of Nationalism: The Dialectics of Nationalism and Religion in the Middle East”, Logos Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.

Petras, James dan Henry Veltmeyer (2001). Globalization Unmasked: Imperialism in the 20 th Century. London: Zed Books, 2001.

Smith, J.W. (2000). Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe.

Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

--- (1999). “Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kerangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, makalah pada seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.

--- (2000a). “Reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa”, makalah diajukan dalam Simposium dan Lokakarya Internasional dengan tema “Mengawali Abad ke-21: Menyongsong Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa”, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di Makassar, 1-5 Agustus 2000.

--- (2000b). “Kebudayaan Nasional sebagai Kekuatan Pemersatu Bangsa”, makalah dalam Seminar Sehari tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika, diselenggarakan oleh DPP Badan Interaksi Sosial Masyarakat (DPP-BISMA) di Jakarta, 25 November.

--- (2002). “Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata Menjelang AFTA 2002”, Perencanaan Pembangunan. Januari-Maret 2003, hlm. 10-15.

--- (2003a). “Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan Globalisasi dan Demokratisasi”, makalah diajukan dalam Seminar Nasional Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan Globalisasi dan Demokratisasi, diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FISIP-UI di Depok, 30-31 Januari.

--- (2003b). 4. “Membangun Kebudayaan Nasional”, majalah Perencanaan Pembangun­an, No.31, April-Juni 2003, hlm. 42-48.

--- (2003c). “Masalah Psikososial, Pandangan Masyarakat tentang Kesehatan Jiwa, dan Membangun Jiwa Bangsa”, makalah diajukan pada Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II di Jakarta, 9-11 Oktober.

Swasono, S.E. (2003a). “Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu: Mempertanya­kan Jatidiri Bangsa”, makalah utama diajukan pada Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari 2003.

Swasono, S.E. (2003b). Kemandirian Bangsa, Tantangan Perjuangan dan Entre­preneurship Indonesia. Yogyakarta: Universitas Janabadra.

Tambunan, A.S.S. (2002). UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002 Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku.

Penyederhanaan Parpol dan Demokrasi

Oleh M Sabil Rachman (Wakil Ketua Umum DPP AMPI, peserta program S-3 Ilmu Politik UI)



Hari-hari ini, usulan tentang penyederhanaan partai politik sudah mulai ramai diperdebatkan. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Theo L Sambuaga saat menutup Rakornas Legislator Partai Golkar, 6 Juni 2010, di Hotel The Ritz-Carlton, Jakarta, menegaskan bahwa penyederhanaan partai politik merupakan agenda mendesak untuk meningkatkan kinerja parlemen.

Pernyataan tersebut memperkuat komitmen Partai Golkar yang dalam rakornas tersebut diharapkan memelopori upaya penyederhanaan parpol dengan menaikkan angka parliamentary threshold (PT) menjadi lima persen. Penetapan itu secara alami bisa mengurangi jumlah parpol di Indonesia sehingga stabilitas politik dan pendewasaan demokrasi bisa ditata sejak dini. Gagasan ini tampaknya bisa terwujud mengingat Partai Demokrat, kekuatan politik terbesar di parlemen, saat ini telah memberikan isyarat dukungan.

Rencana itu sendiri telah mendapat tanggapan luas dari publik. Partai-partai kecil yang pada Pemilu 2009 gagal mencapai target 2,5 persen, sejak dini bereaksi menolak gagasan tersebut. Penyederhanaan parpol dianggap cermin dari arogansi parpol besar, terutama Partai Demokrat dan Partai Golkar. Beberapa akademisi juga menuduh gagasan itu adalah indikasi kepanikan parpol besar yang tidak siap berkompetisi. Bahkan, ada yang mengkhawatirkan bahwa menaikkan angka PT hingga lima persen berpotensi menghambat kebebasan politik dan mencederai demokrasi. Benarkah?

Rasional

Penyederhanaan parpol merupakan agenda rasionalisasi politik. Sejak Orde Baru tumbang, politik dan reformasi dilanda euforia yang luar biasa. Tapi, ternyata ini bukan berita gembira. Kebebasan politik dan reformasi yang semestinya menggaransi kemajuan dan kesejahteraan, dalam kenyataannya tidak terbukti. Pradjarto (2002) mencatat bahwa reformasi telah disalahtafsirkan. Di beberapa daerah di Jawa Tengah, misalnya, reformasi berarti seorang pemimpin bisa dipaksa lengser dengan kekuatan rakyat yang besar dan brutal meski kesalahannya belum bisa dibuktikan.

Studi Alfred Stepan (1978) tentang nasib megara-negara yang mengalami transisi politik di Amerika Latin tahun 1970-an memberikan sinyal bahwa kebebasan politik tanpa dilandasi kesadaran kritis justru mempertaruhkan demokrasi itu sendiri. Stepan mencatat bahwa 70 persen negara yang menghadapi transisi politik gagal menggapai demokrasi. Sebaliknya, negara-negara itu malah kembali terperangkap dalam jebakan otoriterisme karena kekuasaan memerlukan stabilitas dan eifisiensi.

Banyaknya parpol di negeri ini tidak otomatis merupakan cermin tingginya semangat berdemokrasi di kalangan elite politik. Kemudahan mendirikan parpol menstimulasi elite untuk berlomba memperebutkan kekuasaan tanpa pertimbangan matang. Banyak parpol didirikan tanpa elaborasi ideologi yang jelas dan visi yang terukur serta aplikatif. Infrastruktur kelembagaan parpol dan basis konstituennya lemah sehingga gagal membangun kekuatan politik yang pantas diperhitungkan.

Sialnya, avonturisme elite ini mendapat dukungan dari rakyat yang belum lepas dari jebakan patronase politik. Di banyak daerah, pilihan politik rakyat sering didasarkan pada tampilan luar seperti isu agama, suku, dan entitas budaya. Ideologi dan isu yang menjadi basis pelembagaan politik sering masih menjadi faktor sekunder.

Jika demikian, penyederhanaan parpol menjadi agenda mendesak untuk mendorong lahirnya rasionalisasi politik. Intinya adalah bahwa kebebasan berpolitik bukanlah modal tunggal untuk meraih kekuasaan. Kebebasan politik juga harus dibangun atas kesadaran rasional bahwa dukungan publik hanya mungkin diberikan jika suatu kekuatan politik bisa memenuhi beberapa syarat berikut, yaitu (1) kemampuan untuk memetakan konstituen (party rooting); (2) adanya pengakuan dari publik (party legitimacy); (3) tersedianya aturan dan regulasi yang jelas (rule and regulation) dan kemampuan untuk bersaing (competitiveness) (Wicipto Setiadi, 2010).

Pemenuhan keempat syarat itu dan disertai kemampuan finansial menjadi garansi penting bagi suatu kekuatan politik untuk mendapat dukungan publik. Parpol juga bisa menjalankan perannya secara maksimal dalam hal legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Pemberadaban

Demokrasi, kata Leslie (1962), bersenyawakan kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice). Ketiganya harus dikembangkan secara simultan dan berimbang sehingga demokrasi bisa tumbuh secara wajar.

Berdasarkan pengalaman negara-negara demokrasi maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris, demokrasi hanya bisa tumbuh sehat jika ada aturan main. Demokrasi bukan berarti mendewakan kebebasan dan mengabaikan aturan main. Demokrasi kita tidak boleh lagi terperangkap dalam paham liberal yang memandang kebebasan dan kebahagiaan individu adalah segala-galanya. Demokrasi harus tumbuh dari sikap hormat setiap pelakunya terhadap aturan main (rule of law) yang telah disepakati.

Menguatnya basis rasionalitas dalam berpolitik menempatkan demokrasi sebagai medium pemberadaban. Hal itu antara lain diukur dari kesadaran setiap pelaku politik untuk menyadari kapasitas diri dan menguatnya sportivitas sebagai spirit dasar berkompetisi. Dengan demikian, kalah dalam politik bukan berarti kehilangan segala-galanya sehingga harus dilawan dengan segala cara, termasuk menggunakan kekerasan. Sebaliknya, demokrasi menempatkan pihak yang menang bukan sebagai "raja" atau "ratu", melainkan "pelayan" yang harus berlaku adil dengan menghindari tendensi dominasi dan diskriminasi.

Di samping itu, dambaan terhadap demokrasi hendaknya diintegrasikan dengan cita-cita kemerdekaan, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Pada titik ini, kita sepakat dengan gagasan penyederhanaan parpol sebagai strategi untuk menjamin stabilitas politik dan pemerintahan sehingga bangsa ini bisa segera bangkit dari lembah kemiskinan dan keterbelakangan. ***

Sumber: Suara Karya

Kepedulian Soekarno pada Kemelaratan

Oleh Prakoso Bhairawa Putera (Peneliti LIPI)

"Anak Belanda tidak pernah bermain dengan anak bumiputra. Mereka orang Barat yang putih seperti salju asli yang baik dan mereka memandang rendah kepadaku karena aku anak bumiputra atau inlander."

Pengalaman pahit ini dialami Bung Karno ketika bersekolah di Europeese Logere School. Kebencian Sang Putra Fajar terhadap sikap anak-anak Belanda yang terlalu meremehkan anak pribumi makin lama makin berkembang. Hal itu memengaruhi jiwa dan alam pikirannya untuk membenci penjajah Belanda. Bagi Bung Karno pribadi, itu penghinaan yang begitu menyakitkan.

Sejak saat itu ia bertekad untuk menuntut pengakuan atas bangsa dan memulihkan harga diri sendiri serta rakyatnya yang kemudian menjadi pendorong bagi setiap tindakannya. Sosok proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia (RI) ini harus melewati masa-masa sulit pada awal kehidupan.

Bung Karno dilahirkan pada 6 Juni 1901 di Blitar. Nama kelahirannya Kusno. Tapi, karena sakit-sakitan, maka sang ayah mengganti namanya menjadi Soekarno. Hal ini diungkapkan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Karno adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.

Terlepas dari itu semua, Bung Karno sangat memperhatikan orang miskin. Kemelaratan dan kemiskinan orang lain tidak luput dari perhatiannya. Sikap inilah yang menjadi energi penggerak bagi Bung Karno untuk memperjuangkan serta membela nasib rakyat miskin.

Bung Karno dengan lantangnya mengutuk segala bentuk kolonialisme dan kapitalisme. Dalam pandangannya, kedua hal tersebut akan melahirkan struktur masyarakat eksploitatif yang bermuara pada imperialisme, baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Bagi Bung Karno, kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme merupakan tantangan besar bagi setiap orang Indonesia yang menghendaki kemerdekaan.

Di sisi lain, putra pasangan Raden Sukemi Sastrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ini juga sangat membenci elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik lebih tinggi daripada orang lain. Elitisme bisa dipraktikkan oleh orang-orang pribumi terhadap bangsanya sendiri. Jika ini dibiarkan, akan terjadi perpecahan di antara kelompok masyarakat. Sistem kolonial dan sikap-sikap imperialisme pun akan lestari di bumi Indonesia.

Kematangan pola pikir Bung Karno makin terlihat jelas dengan bertambahnya usia. Ketertarikannya pada dunia politik untuk memperjuangkan semua rasa keterkurungan rakyat makin besar. Di rumah HOS Cokroaminoto, Bung Karno menggali semuanya. Di rumah pimpinan Sarikat Islam inilah ia mendapatkan pengalaman pertama mengenai gairah kebangsaan dan energi politik, yang kemudian rakyat dipersiapkan untuk melawan pemerintah kolonial secara terorganisasi.

Permainan politiknya pada era kebangkitan nasional membawa Bung Karno harus keluar-masuk penjara dan ia harus dibuang ke tempat-tempat terpencil karena sikap arogannya terhadap pemerintah kolonial. Sebagai tokoh pergerakan, dinding penjara dan penderitaan di pembuangan tidak melumpuhkan daya juangnya. Pada waktu menghadapi kesulitan, Bung Karno selalu mengatakan kepada dirinya sendiri, "Soekarno, kesakitan yang kau rasakan sekarang hanyalah kerikil di jalan raya menuju kemerdekaan. Langkahilah dia, kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah engkau kembali dan terus berjalan."

Bung Karno berusaha untuk membuat bangsa Indonesia sama tinggi dan setara di dunia internasional. Ia pun mempersatukan semua suku bangsa menjadi satu bangsa: bangsa Indonesia. Kemudian Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang membawa misi menyatukan seluruh rakyat Indonesia dengan tidak membedakan suku dan sebagainya dalam satu kekuatan yang mahahebat. Bung Karno, melalui partainya, mewadahi perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita, yaitu tercapainya Indonesia merdeka secepat mungkin.

Dalam partainya Bung Karno mengedepankan paham kebangsaan yang benar dan mendalam. Ia ingin agar bangsa kita tetap menjadi subjek demokrasi, sehingga sumber daya politik dan ekonomi bisa dinikmati rakyat secara merata. Untuk mengembangkan partai yang didirikannya, Bung Karno mencetuskan ide tentang paham marhaenisme yang di dalamnya merupakan sintesis dari ajaran marxisme.

Marhaenisme mempunyai dasar sosiodemokrasi dan sosionasionalisme yang kuat. Sosiodemokrasi berusaha mencapai kesamaan yang berdasarkan gotong royong, sedangkan sosionasionalisme berupaya menanamkan asas kebangsaan yang berkemanusiaan. Tujuannya adalah mengangkat derajat manusia Indonesia dan menentang pengisapan tenaga seseorang oleh orang lain.

Kedatangan Jepang membawa perubahan dalam mentalitas rakyat menghadapi penjajah. Kekuatan bangsa Eropa selama tiga setengah abad di Indonesia lenyap dipukul mundur oleh Jepang.

Namun, penjajah tetaplah penjajah. Kekejaman Jepang makin menyadarkan rakyat akan pentingnya kemerdekaan. Di satu sisi ternyata Jepang berkata lain, harapan akan kemerdekaan yang diimpikan rakyat coba dihadirkan di tengah-tengah bangsa Indonesia, yang tujuannya untuk menarik simpati. Bung Karno sebagai tokoh berpengaruh bersama Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara ditunjuk Jepang untuk memimpin Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang dibentuk untuk mengerahkan kekuatan rakyat guna membantu perang Jepang.

Kehadiran Jepang di Indonesia tidak berlangsung lama. Peristiwa Nagasaki dan Hiroshima membawa dampak baik bagi Indonesia. Setelah melalui pergulatan panjang dalam pencapaian kemerdekaan, akhirnya pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, Bung Karno bersama Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Keinginan rakyat untuk bebas dari belenggu penjajahan dan merdeka tercapai. Bung Karno sendiri kemudian diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia pertama.

Bung Karno merupakan figur yang mampu mempersatukan berbagai kelompok dan aliran politik. Sebagai seorang pemimpin bangsa, Bung Karno selalu menjaga keseimbangan di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada. Penempatan semangat kebangsaan dan penderitaan rakyat setidaknya telah menjadi bagian dari diri Bung Karno dalam pencapaian tujuan Indonesia merdeka. Pengalaman pahit menghadapi penjajah Belanda dan Jepang adalah sumber utama bagi Bung Karno untuk membawa Indonesia menjadi anti-Barat di kemudian hari.

Sayang sekali, inisiatif-inisiatif diplomasi Bung Karno terhenti di tengah jalan bersama usia tuanya dan kehidupan bangsanya sendiri. Sang Putra Fajar memang telah tiada, tetapi kita beruntung memiliki seseorang yang mampu memanifestasi hasrat rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka dan setara di mata dunia internasional. Dan, di Blitar-lah Bung Karno beristirahat.

"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kacamata benggalanya daripada masa yang akan datang" (Pidato 17 Agustus 1965). "Karena itu, segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: Terlepas dari perbedaan apa pun, jagalah persatuan, jagalah kesatuan, jagalah keutuhan!" (Pidato 17 Agustus 1966) ***

Sumber: Suara Karya

Nilai Budaya dalam Bahasa Gambar Garin Nugroho

Oleh Eka Fendri Putra

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi tentang televisi, seorang peserta melontarkan pertanyaan. Kegelisahan yang dilontarkan adalah, kenapa belakangan ini, iklan televisi mempunyai tren yang sama. Tren dalam mengemas bahasa visual yang sama.

Semuanya nampak seragam. Ujung-ujungnya menyepakati, bahwa iklan televisi yang acapkali muncul belakangan ini, agaknya mengambil teknis tutur gambar yang sama. Pengambilan angle camera, hampir seragam. Memakai idiom-idiom dan teknis penciptaan yang kerap kali muncul dalam "film dan iklan-iklan yang pernah dibuat oleh sineas Garin Nugroho. Begitu besar, pengaruh Garin Nugroho dalam industri televisi nasional dari karya-karyanya?

Bisa demikian kuatkah? Yang pasti dalam industri film, Garin Nugroho memang telah diakui dengan puluhan penghargaan yang dikumpulkannya, untuk skala festival internasional. Dalam televisi, Garin Nugroho mempunyai karya-karya iklan televisi dengan bahasa gambarnya yang lain. Bahasa tuturnya yang sangat berbeda tersebut nampak dari iklan kampanye Pemilu, kenaikan tarif listrik, iklan mobil, dan iklan layanan masyarakat yang lain.

Dalam perkembangannya, iklan-iklan yang diproduksi Garin tersebut, diadopsi secara ide (bentuk pengambilan gambarnya), oleh iklan-iklan yang lain. Misalkan, iklan rokok, iklan kopi, iklan lembaga perbankan dan masih banyak lagi. Semuanya, mengambil ide dan gaya pengambilan bahasa gambar yang pernah dan sering dilakukan oleh Garin Nugroho.

Sehingga, yang pada akhirnya muncul adalah, gaya iklan dengan gambar-gambar yang sangat seragam. Keseragaman yang terus bertambah, terus menerus. Bahkan, pada akhirnya begitu terasa sulit untuk bisa menemukan mana yang karya Garin Nugroho asli, dan yang palsu. Ketakutannya adalah, beberapa waktu mendatang, akan terjadi booming bahasa gambar Garin di televisi.

Bisa dikatakan, bahwa sutradara Garin Nugroho, memang menjadi fenomena. Salah satu tonggak, sutradara paling berpengaruh di kawasan Asia. Dari karya-karyanya, senantiasa memunculkan keinginan-keinginan yang tak terbendung guna mengadopsinya.

Ada kekhasan, spefisikasi penuturan bahasa gambar, yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Gaya tutur gambar Garin Nugroho yang unik, senantiasa menimbulkan perspektif baru, dalam proses pengaktualan pesan di televisi. Dalam buku Membaca Garin Nugroho (Philiph Cheah - Tonny Trimarsanto, Pustaka Pelajar, 2009), tertangkap dan tersimpulkan makna bahwa, Garin Nugroho. Identifikasi realitas keseharian yang dimaksudkan di sini adalah, mengangkat nilai-nilai budaya paling kongkret dan riil dari nilai yang ada.

Dalam film-filmnya bias terbaca bahwa nilai-nilai cultural yang mengedepan tak lebih dari upaya untuk bias melihat beragam bentuk perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang lantas, dikonfrontasikan dengan realitas budaya pop, pendidikan politik dan terciptanya ketimpangan komunikasi. Pendapat itu mungkin benar, sebagian.

Namun, paling tidak ada perlunya dikedepankan pula, bentuk-bentuk pemikiran yang lebih kritis yang justru melekat dalam industri televisi itu sendiri. Anatomi industri televisi, memang bisa dibaca dan diterjemahkan dalam beberapa bentuk kecenderungannya yang actual.

Pertama, industri televisi akan senantiasa berjalan terus dalam upaya pembaruan. Upaya untuk memperbaiki diri secara bentuk, adalah jalan yang seringkali ditempuh oleh televisi. Kondisi yang terus menerus berubah tersebut, telah menjadi keharusan yang tak bisa dikesampingkan. Pemirsa memang terus menerus membutuhkan, atau malah menuntut adanya gaya tutur baru yang lebih segar. Terlalu banyaknya bahasa tutur program televisi yang seragam, jelas menciptakan sebuah kejenuhan.

Kejenuhan yang akan menciptakan antiklimaks proses komunikasi pesan televisi. Lebih parahnya, antiklimaks tersebut akan menjadi dasar dari serangkaian tudingan yang selama ini diarahkan ke televisi. Upaya untuk bias menemukan bentuk pembaruan, memang sebuah strategi menghindari keseragaman.

Homogenitas televisi, akan muncul dengan cepat, dan butuh strategi pengupayaan heterogenitas ide. Ada nilai ekonomi yang tinggi. Kedua, industri televisi pada akhirnya dimaknai sebagai bangun sistem yang terus menerus, menghitung dirinya dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomis. Sehingga, hitungan setiap program adalah hitungan ekonomis.

Ketika ada sebuah kecenderungan yang mewabah dalam hal produksi program, maka dengan cepat akan menjadi bahan pertimbangan dalam setiap penayangan, dan produksi program. Produksi program yang dimaksudkan di sini, meliputi gaya penciptaan, pengambilan gambar dalam perspektif dan sudut-sudutnya, serta sistem produksi yang dipakainya.

Banyak dari pemilik modal, baik itu pengusaha, yayasan, ataupun departemen-departemen pemerintah yang seringkali menuntut pada banyak sutradara untuk bisa membuat karya seperti yang dikedepankan secara gambar oleh Garin Nugroho. Dan standarisasi program televisi dengan nilai estetika Garin Nugroho -pun menjadi sebuah patokan. Menjadi satu symbol yang terus menerus mengilhami beragam bentuk program televisi.

Terutama menyangkut esensi pesan, bentuk, perspektif gambar dan yang lain. Semuanya ingin disamakan tingkat pencapaiannya. Ideologi televisi senantiasa bertumbuh pada perspektifnya yang saling terkait, dalam system nilai yang mempengaruhi.

Sehingga, ketika pada saat ini banyak dijumpai beragam bentuk karya ala Garin Nugroho secara gambar, maka, bisa diungkap bahwa relasi kreativitas tersebut sebagai proses kreatif yang wajar. Dalam tradisi berkesenian, sebenarnya tak pernah terdapat satu ide kreatif yang benar-benar orisinal. Orisinalitas ide mencipta karya visual televisi, juga demikian. Pada kenyataannya tak ada yang baru.

Mungkin bahasa gambar Garin Nugroho pada saat ini boleh dikatakan sebagai sesuatu yang baru. Tetapi, jika ditarik ke belakang, tetaplah juga merupakan ide hasil adaptasi karya yang pernah ada. Tak ada kebaruan yang orisinal. Ketika banyak bahasa gambar Garin Nugroho yang lantas dijiplak, itu akan menjadi hal yang wajar. Dalam arti, untuk didalam peta karya telvisi, Garin-lah yang memang pertama mengenalkannya. Namun, jika lantas disebut sebagai karya yagn sangat orisinal dari bahasa gambarnya, memang patut untuk dikaji ulang. Pada akhirnya, industri televisipun akan terus bergerak dan memperbarui dirinya dengan idiom dan perspektif yang baru. ***

Sumber: Suara Karya

 
powered by Blogger | Downloaded from free website templates