Video Porno dan Moralitas Remaja

Oleh Darwis SN (praktisi pendidikan, alumnus University of Adelaide, Australia)

Kasus beredarnya video mesum yang pemerannya diduga mirip artis ternama merupakan persoalan yang harus disikapi tegas oleh semua pihak. Upaya melindungi generasi muda dari proses dekadensi moral menjadi alasan kuat mengingat pelaku-pelaku yang diduga "beratraksi" dalam video itu adalah para figur publik (public figure) yang sedikit banyak menjadi contoh perilaku anak-anak muda kita.

Apa yang terjadi dengan video-video tersebut menunjukkan kemerosotan moral figur publik yang makin nyata. Mereka bukanlah pasangan suami-istri, sehingga hubungan intim yang mereka lakukan dikategorikan sebagai perzinaan. Perilaku mereka telah mendesakralisasi hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan dan dikhawatirkan merusak moral generasi muda yang mengidolakan mereka.

Jika dahulu perbuatan tersebut masih tertutup dan malu dilakukan, sekarang makin terbuka, bahkan ada yang bangga dengan perbuatan tersebut. Para artis tidak saja melakukan pornoaksi dan pornografi, tetapi juga perbuatan kriminal lain, seperti menyalahgunakan narkoba. Ini memberi andil pada keruntuhan moral bangsa. Sebab, sebagai figur publik, mereka diidolakan oleh anak muda sehingga apa yang mereka perbuat bisa ditiru.

Para artis bagaikan magnet yang mampu menyedot antusiasme dahsyat kalangan remaja kita. Soal idola, kata yang satu ini seolah-olah sudah mendarah daging dalam dunia remaja. Anehnya, kebanyakan tokoh yang diidolakan para remaja adalah kaum selebritas (penyanyi, bintang film, bintang iklan, model, pemain sinetron). Sikap mengidola ini bukan tidak mungkin bisa berubah menjadi "pemujaan" sehingga tanpa sadar para remaja kemudian mengikuti gaya hidup para selebritas. Mulai dari soal pakaian, dandanan rambut, segala macam aksesori yang menempel, selera musik hingga pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, semuanya ingin ditiru.

Yang lebih mengkhawatirkan, ketika kaum selebritas dipandang sebagai teladan hidup. Tanpa bermaksud mengambinghitamkan keberadaan selebritas, namun kenyataannya memang tidak bisa dimungkiri bahwa dunia selebritas tak sepi dari berbagai kehidupan glamor, pesta, bahkan tak sedikit yang nyenggol-nyenggol narkoba dan seks bebas. Masih bagus kalau selebritas yang diidolakan itu terbilang "bersih" dari hal-hal semacam itu. Namun, kalau yang diidolakan itu doyan pesta (narkoba maupun seks), bagaimana jadinya remaja kita jika mencontek perilaku mereka. Ekspresi yang berlebihan dalam memperlakukan idola ini bukan tidak mungkin dapat menjebak remaja hidup di bawah bayang-bayang "keagungan" sang idola.

Hal ini dikhawatirkan membuat remaja tak bisa menjadi dirinya sendiri (mandiri). Kerinduan masyarakat terhadap kehadiran sang idola, sebenarnya adalah sesuatu yang lumrah. Secara psikologis, ia merupakan "penampakan" dari proses identifikasi dan pencarian jati diri. Fenomena normal dan universal itu terutama menggejala di kalangan remaja. Sebagai anak baru gede (ABG), mereka butuh figur nyata yang layak dikagumi dan diteladani. Karena itu, dalam batas-batas sebagai sebuah gejala perkembangan kejiwaan, sesungguhnya tidak ada hal yang perlu dirisaukan.

Masalahnya kemudian menjadi rumit dan mencemaskan manakala fenomena psikologis yang normal dan universal itu ditunggangi dan dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat struktural, baik yang datangnya dari pusat kekuasaan yang cenderung hegemonistik maupun dari jaringan kepentingan bisnis yang cenderung monopolistik. Dalam kondisi begitu, kekaguman orang pada sosok tertentu sudah tidak jujur lagi. Hal itu penuh kepalsuan, sarat dengan rekayasa, dan cenderung hipokrit dan irasional. Produk seni pun tidak lagi mengacu kepada keluhuran nilai-nilai estetika, etika, dan agama. Bahkan yang berlangsung sebaliknya. Nilai-nilai estetika, etika, dan agama sengaja ditenggelamkan demi mengumbar syahwat "keserbabolehan" alias permisivisme.

Tak disangkal lagi, televisi dan dunia maya (internet) kini menempati posisi yang demikian strategis. Pada posisi itu, kedua media ini, menurut Neil Postman, telah menjadi agen yang punya "kekuatan magnetis", mampu menyedot sejumlah orang untuk menjadi "pengguna yang tekun", pemirsa yang betah berjam-jam memelototi layar kaca dan berselancar di dunia maya. Sebagai instrumen terpenting dalam kebudayaan massa, pengelola program mengemas dan mendesain dengan rapi lewat berlapis-lapis citra selebritas. Apa yang dilakukan, dimakan, dikenakan, dan dibeli oleh sang idola menjadi hal yang terlampau penting untuk dilewatkan publik penggemarnya. Kepentingan para pebisnis tampak kental di situ.

Media massa remaja (majalah maupun media online) yang mengekspose kaum selebritas bisa dipastikan kebanjiran iklan lantaran pembacanya memang banyak. Berawal dari rasa ingin tahu seseorang terhadap orang lain yang begitu besar, para pebisnis pun menangkap peluang tersebut. Lihatlah di berbagai majalah remaja, yang paling banyak diekspose adalah kaum selebritas. Dari mulai gosip, gaya hidup, sampai karier mereka, semuanya ditampilkan.

Betapa berderetnya berita yang menampilkan dunia kaum glamor ini. Meski bukan berita besar, semisal berita selebritas yang berulang tahun, seputar koleksi sepatu, tas, topi, ikat pinggang atau bagaimana mereka menikmati liburan, semua menjadi berita yang laku keras diserbu penggemar. Semua itu dibuat seolah-olah memang agar para remaja memasangnya sebagai idola. Awalnya bisa saja hanya sekadar simpati, tapi lama-kelamaan, karena terus diekspos dengan hebohnya, maka perasaan mengidola itu jadi kian kental. Yang juga tak kalah mengkhawatirkan, yakni remaja kita terus dibuai dengan berita-berita "sampah" yang memang tidak ada hubungannya dengan persoalan kehidupan manusia yang berat dan kritis.

Remaja pun dirasuki jiwa ketidakpedulian terhadap kondisi sekelilingnya. Daripada uang ratusan ribu dipakai menonton konser yang senangnya sesaat misalnya, kalau dana itu disumbangkan untuk teman-teman mereka yang kelaparan di pengungsian akibat bencana, tentu akan lebih bermanfaat dan melatih remaja untuk memiliki solidaritas. Mengapa media yang ada tidak menjadi jalan bagi bangkitnya sikap kepedulian mereka terhadap sesama ketimbang menawarkan banyak hal yang membuat remaja berpikir dan bersikap individualis, tak mau tahu apa yang terjadi di sekelilingnya?

Bagi mereka, yang penting happy. Ini tentu berbahaya bagi pertumbuhan kepribadian mereka ke depan. Sebab, bukankah masa depan suatu bangsa terletak di tangan para generasi muda? Jika kini banyak generasi muda yang rusak, akan jadi apa bangsa ini kelak? Akankah bangsa ini nanti kita serahkan kepada generasi seperti itu? Generasi yang hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa mau peduli terhadap nasib orang lain? ***

Sumber: suarakarya-online

No Response to "Video Porno dan Moralitas Remaja"

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
 
powered by Blogger | Downloaded from free website templates