Mengembalikan Jati Diri Bangsa:

mengembalikan jati diri bangsaBangsa kita yang multikultur dan multiwajah dinilai telah kehilangan sikap ramah. Nilai-nilai keberadaban telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosi-emosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya.

Situasi anomali semacam itu bisa jadi merupakan ekspresi massal akibat akumulasi sikap represif yang dengan sengaja dipraktikkan rezim masa lalu untuk membungkam suara-suara kritis. Bertahun-tahun lamanya, anak-anak bangsa negeri ini “dipenjara” dalam tungku kekuasaan yang serba tertutup, tiran, dan tidak adil. Kesenjangan sosial-ekonomi yang begitu lebar, disadari atau tidak, telah membuat kehidupan masyarakat di lapisan akar rumput menjadi gampang putus asa dan rentan terhadap aksi-aksi kekerasan. Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka. Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru yang suka pamer kekayaan dan dengan congkak mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidup rakyat kecil yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.

Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, jati diri bangsa makin tidak jelas dan buram dalam peta kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika. Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian. ***

No Response to "Mengembalikan Jati Diri Bangsa:"

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
 
powered by Blogger | Downloaded from free website templates