Golput: Antara Pilihan dan Legitimasi Demokrasi

logoDalam waktu yang hampir bersamaan, MUI mengeluarkan dua fatwa yang sama-sama memiliki derajat resistensi tinggi dari berbagai kalangan, yakni mengharamkan rokok dan Golput. Dari dua fatwa ini, yang paling banyak menyita perhatian publik adalah pengharaman Golput. Hal ini sangat beralasan, sebab persoalan halal-haram merupakan salah satu dimensi moral-spiritual yang tak bisa begitu saja dijadikan sebagai pisau bedah untuk menguliti persoalan politik yang lebih banyak bersinggungan dengan persoalan duniawi.



Kita tak tahu persis, apa maunya MUI. Benarkah memang ada upaya untuk “memolitisir” agama atau “mengagamakan” politik? Kalau memang demikian, MUI yang seharusnya bisa menjadi penjaga gawang moral dan spiritual bangsa, justru dikhawatirkan akan kehilangan pamornya sebagai institusi terhormat, tempat bernaungnya para ulama yang memiliki fatsun dan kearifan dalam menyikapi berbagai fenomena kehidupan yang mencuat ke permukaan.



Golput, sebagai salah satu fenomena politik, memang menarik diamati. Pada masa Orde Baru (nyaris) banyak yang tiarap ketika hendak memproklamirkan diri sebagai penganut “mazhab” abstain ini. Maklum, situasi represif yang sengaja diciptakan penguasa amat tidak memungkinkan jargon Golput ini bisa berkembang dengan leluasa di tengah-tengah masyarakat. Stigma sebagai pembangkang, pengkhianat, atau PKI, akan dengan mudah ditimpakan kepada mereka yang tak mau menggunakan hak suaranya dalam sebuah pesta demokrasi. Kesadaran politik semu akibat sikap fasis sang penguasa membuat bangsa kita gagal melakukan sebuah perubahan selama lebih kurang tiga dasa warsa.



Perubahan atmosfer politik itu baru bisa terwujud setelah reformasi bergulir. Seiring dengan itu, kesadaran politik warga masyarakat pun mulai tumbuh. Mereka tak mau lagi tunduk pada upaya penyeragaman dalam melakukan pilihan-pilihan politik. Munculnya banyak partai telah menjadi “euforia” massa dalam menentukan pilihan. Memasuki masa-masa kampanye, sudut-sudut kampung dan kota tak lagi didominasi warna kuning, tetapi sudah memancarkan warna pelangi yang menjanjikan banyak pilihan.



Namun, lagi-lagi sejarah negeri ini mencatat, era multipartai yang menjanjikan banyak pilihan itu ternyata tak kunjung membuat nasib negeri ini menjadi lebih baik. Bahkan, telah menciptakan “petaka baru” dengan munculnya banyak petualang dan “bromocorah” politik yang bisa dengan mudah menyusup ke dalam lingkaran elite kekuasaan sebagai wakil rakyat. Banyaknya wakil rakyat yang terjegal kasus korupsi dan perselingkuhan, bisa jadi bukti, betapa suara rakyat yang terepresentasikan dalam Pemilu benar-benar diabaikan. Para wakil rakyat –meski tidak seluruhnya—justru makin mabuk dan tenggelam dalam aroma kekuasaan yang rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.



Bercermin dari hasil Pemilu ke Pemilu yang gagal melahirkan wakil rakyat, tokoh, atau pemimpin yang berkarakter, membuat sebagian rakyat kecewa. Mereka geram, tapi tak sanggup melakukan apa-apa. Satu-satunya aksi politik yang bisa dilakukan adalah bersikap abstain alias Golput ketika Pemilu digelar. Tidak berlebihan apabila angka Golput dalam Pilkada yang digelar di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu meningkat tajam. Bisa jadi, lantaran khawatir terhadap meningkatnya jumlah Golput pada Pemilu 2009, ada pihak yang mulai gerah. Meningkatnya jumlah Golput jelas bisa memengaruhi nilai legitimasi demokrasi sehingga perlu ada upaya serius untuk mencegahnya.



Yang menjadi pertanyaan, mengapa yang gerah mesti MUI? Apakah mereka memang memiliki otoritas dan kelayakan untuk menggiring kesadaran politik rakyat dalam Pemilu lewat ancaman haram dan dosa? Efektifkah fatwa itu, meski secara hukum tidak memiliki kekuatan mengikat, untuk menarik simpati publik agar mau menggunakan hak pilihnya?



Tidak memilih, sejatinya juga termasuk memilih. Jangan salahkan mereka yang Golput kalau kenyataannya memang masih banyak petualang dan “bromocorah” politik yang tak punya rasa malu dan masih terus nekad mencalonkan diri sebagai caleg. Jangan dicap sebagai “pendosa” kalau ada rakyat yang memilih untuk “tidak memilih” dalam Pemilu kalau kenyataannya pesta demokrasi selama ini nyata-nyata telah gagal memberikan yang terbaik buat rakyat.



Fenomena Golput idealnya perlu dijadikan sebagai “warning” bagi para petualang politik agar mereka menghentikan kekonyolannya. Kalau ingin membuat Pemilu di negeri ini memiliki nilai legitimasi demokrasi yang lebih baik, perlu dibuat aturan main yang “mengharamkan” para koruptor dan memiliki “cacat sosial” mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau seorang pemimpin. Dalam konteks demikian, saya akan menunduk takzim dan bersimpuh jika fatwa MUI itu berbunyi, “Haram hukumnya koruptor menjadi Caleg!” Nah, bagaimana? ***



No Response to "Golput: Antara Pilihan dan Legitimasi Demokrasi"

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
 
powered by Blogger | Downloaded from free website templates